Sejarah
institusi yang berperan melakukan kegiatan constitutional
review di dunia berkembang pesat melalui tahap-tahap pengalaman yang
beragam di setiap negara.[1] Di
beberapa negara constitutional review dilakukan
oleh lembaga peradilan khusus, seperti Mahkamah Konstitusi ataupun lembaga
peradilan yang sudah ada sebelumnya, yakni Mahkamah Agung. Namun, ada juga
negara yang memberikan kewenangan khusus kepada badan-badan khusus untuk
berperan melakukan kegiatan constitutional
review. Berikut merupakan model-model pengujian konstitusi di berbagai
negara:
a. Amerika
Serikat
Model
constitutional review di Amerika
Serikat didasarkan atas pengalaman Mahkamah Agung Amerika Serikat memutus
perkara Marbury versus Madison pada tahun 1803. Dalam hal ini Mahkamah Agung
berperan sebagai The Guardian of
Constitution yang memiliki kewenangan penuh dalam melakukan constitutional review. Selain itu,
menurut doktrin John Marshall, dapat pula dilakukan judicial review di semua pengadilan biasa melalui prosedur yang
dinamakan pengujian terdesentralisasi atau pengujian tersebar. Dalam hal ini,
pengujian tersebut tidak bersifat mandiri, tetapi termasuk di dalam perkara
lain yang sedang diperiksa oleh hakim dalam semua lapisan pengadilan. Putusan
pengujian terdesentralisasi hanya mengikat bagi pihak-pihak yang bersengketa,
kecuali dalam kerangka prinsip stare
decisis yang mengharuskan pengadilan di kemudian hari terikat untuk
mengikuti putusan sejenis yang telah diputus oleh hakim lain.
Model
constitutional review di Amerika
Serikat juga diadopsi oleh berbagai negara lain, seperti Argentina, Bahamas,
Haiti, Jamaika, Mexico, Trinidad dan Tobago, dan lain-lain.
b. Austria
Austria
merupakan negara pelopor dalam pembentukan Mahkamah Konstitusi di Eropa. Constitutional review di Austria
diselenggarakan untuk menetapkan prinsip-prinsip fundamental konstitusi.
Artinya, berbeda dengan sistem yang terdapat di Amerika Serikat Mahkamah
Konstitusi di Austria dapat menyelenggarakan suatu constitutional review tanpa perkara tertentu yang memiliki akibat
hukum mengikat secara umum. Kehadiran Mahkamah Konstitusi di Austria sebagai
wujud koreksi terhadap produk hukum yang dibuat oleh lembaga legislatif yang
tidak selaras dengan konstitusi di negara tersebut. Mahkamah Konstitusi di
Austria melalui permintaan dari pemerintah federal atau daerah dapat memutus
mengenai konstitusionalitas dari suatu rancangan undang-undang. Atas dasar itu,
para hakim ditempatkan sebagai legislator konstitusional.[2]
Dalam hal pengujian konstitusionalitas undang-undang Mahkamah Konstitusi dapat
menguji undang-undang negara bagian ataupun negara federal, di samping itu
Mahkamah Konstitusi juga dapat menguji keserasian (kompabilitas) konstitusi
negara bagian dan negara federal. Permintaan pengujian tersebut dapat dilakukan
oleh Mahkamah Agung, Peradilan Tata Usaha Negara, Pemerintah negara bagian
ataupun federal, serta sepertiga anggota Nationlarat.
Apabila keberadaan suatu undang-undang tidak dapat ditolerir, maka Mahkamah Konstitusi
secara ex-officio dapat melakukan
pengujian terhadap undang-undang tersebut.[3]
Mahkamah
Konstitusi Austria dapat membatalkan ketentuan undang-undang baik itu secara
penuh atau sebagian-sebagian. Pada pembatalan tersebut, Mahkamah Konstitusi
Austria memiliki kewenangan untuk menunda akibat hukum pembatalan ketentuan
undang-undang paling hingga jangka waktu lebih dari 18 bulan, kecuali jika
pembatalan tersebut melanggar hak sipil secara langsung dan pembatalan tersebut
merupakan persoalan yang tidak dapat dihindari.
c. Republik
Federal Jerman
Dalam hal constitutional review Mahkamah Konstitusi Jerman dapat menguji
norma abstrak dan kongkrit dari peraturan perundang-undangan yang didasarkan
atas basic dan federal law. Pengujian norma abstrak dapat dimohonkan
oleh pemerintah federal, pemerintah negara bagian, dan juga parlemen federal.
Mahkamah Konstitusi Jerman juga dapat menguji suatu rancangan undang-undang
yang sudah dibahas di parlemen, namun belum diundangkan. Dalam sistem Mahkamah
Konstitusi Jerman permohonan pengujian atas norma abstrak hanya dapat dilakukan
oleh pihak yang berkompeten dalam melaksanakan undang-undang tersebut.[4]Dalam
hal pengujian terhadap norma kongkrit, Mahkamah Konstitusi Federal Jerman baru
dapat dilaksanakan oleh Mahkamah Konstitusi apabila diawali dengan penyerahan
perkara dari peradilan umum.
d. Prancis
Dalam
sistem pengujian konstitusional di Prancis, ide yang diterima oleh para ahli
hukum Prancis yang menyatakan bahwa hakim tidak boleh menilai undang-undang
yang seharusnya diterapkan oleh para hakim sendiri sebagai pegangan. Oleh
karena itu di negara Prancis, kewenangan constitusional
review tidak diberikan kepada lembaga peradilan tetapi kepada suatu lembaga
baru, yakni conseil constitutionnel
(dewan konstitusi). Pada sistem ini permohonan constitutional review bersifat preventif. Dewan konstitusi hanya
dapat menguji rancangan undang-undang yang telah disahkan dan disetujui di
parlemen, tetapi belum diundangkan sebagaimana mestinya. Mekanisme seperti ini
lebih tepat disebut constitutional
preview karena pengujian konstitusionalitas bersifat preventif sebelum
rancangan undang-undang bersifat mengikat untuk umum.[5]
Sistem
pengujian konstitusional di Prancis yang menamakan lembaga pengawal
konstitusinya sebagai dewan konstitusi diadopsi oleh berbagai negara lain,
seperti Lebanon, Aljazair, Maroko, Djibouti, dan lain-lain.
Sumber
referensi utama:
-
Asshiddiqie, Jimly. Model-model Pengujian Konstitusional di Berbagai Negara. Jakarta:
Konstitusi Press, 2005.
-
Jimly Asshiddiqie dan Ahmad Syahrizal. Peradilan Konstitusi di Sepuluh Negara.
Jakarta: Konstitusi Press, 2006.
[1]
Asshiddiqie, Jimly.Model-model Pengujian
Konstitusional di Berbagai Negara. Jakarta: Konstitusi Press, 2005.
[2] Hans
Kelsen dalam Governing with Judges oleh
Alec Stone Sweet, hal. 135.
[3] Pasal
140 ayat (3) Konstitusi Austria
[4] Lihat
artikel 76 (1) tentang Review of Law in General
[5] Lihat
John Bell, French Constitutional Law
Tidak ada komentar:
Posting Komentar