Tugas Mata Kuliah Hukum Acara Mahkamah Konstitusi

Blog ini memuat materi-materi yang berkaitan dengan Pengujian Undang-undang terhadap Undang-undang Dasar (Konstitusi):


1. Sejarah Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dan Kaitannya dengan Constitutional Review.
2. Pengujian Undang-undang terhadap Undang-undang Dasar 1945 di Indonesia.
3. Pengujian Undang-undang terhadap Undang-undang Dasar di Berbagai Negara.
4. Alur Perkara Pengujian Undang-undang terhadap Undang-undang Dasar 1945.
5. Contoh Perkara
6. Video


Semoga bermanfaat bagi kami pribadi dan rekan-rekan mahasiswa Fakultas Hukum lainnya.


Video Tata Cara Pengajuan Permohonan Pengujian Undang-undang:


Contoh Perkara Pengujian Undang-undang terhadap UUD 1945

Putusan Pengujian Undang-Undang Nomor 15/PUU-XII/2014 (putusan_sidang_2090_15 PUU 2014-UU_30_1999)

Pemohon :
Berdasarkan Putusan Pengujian Undang-Undang Nomor 15/PUU-XII/2014 yang mengajukan permohonan adalah Ir. Darma Ambiar, M.M. dan Drs. Sujana Sulaeman yang diwakili oleh kuasanya:
1.      Andi Syafrani, S.H., MCCL.
2.      H. Irfan Zidny, S.H., S.Ag. M.Si.
3.      Rivaldi, S.H.
4.      Yupen Hadi, S.H.
5.      Muhammad Ali Fernandez, S.HI.


Posita Pemohon :
1.      Bahwa Pemohon mengajukan Permohonan Pengujian Konstitusionalitas Penjelasan Pasal 70 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Penyelesaian Sengketa (UUAPS)
2.      Bahwa Penjelasan Pasal 70 UUAAPS a quo telah membuat adanya ketidakpastian hukum bagi para Pemohon karena menimbulkan norma baru dan memuat ketentuan yang berbeda dengan batang tubuh pasal yang dijelaskannya atau setidaknya telah memuat perubahan terselubung dari substansi dan isi norma pokok yang dituangkan oleh Pasal yang dijelaskannya
3.      Bahwa oleh karena terdapat perbedaan norma atau memunculkan norma baru atau perubahan terselubung, maka ketentuan Pasal 70 UUAAPS dan Penjelasannya telah menimbulkan ketidakpastian hukum yang bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945
4.      Bahwa selengkapnya alasan pengujian konstitusionalitas Penjelasan Pasal 70 UUAAPS tersebut adalah sebagai berikut :
a.       Penjelasan Pasal 70 UUAAPS mengandung norma baru atau perubahan terselubung yang bertentangan dengan substansi pokok pasalnya
b.      Penjelasan Pasal 70 UUAAPS tidak operasional dan menghalangi hak hukum pencari keadilan
c.       Penjelasan Pasal 70 UUAAPS menciptakan kerancuan dan pertentangan hukum


Petitum Pemohon :
Pemohon memohon kepada Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi untuk memutuskan:
1.      Mengabulkan Permohonan Pemohon seluruhnya
2.      Meyatakan Penjelasan Pasal 70 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3872) bertentangan dengan UUD 1945
3.      Menyatakan Penjelasan Pasal 70 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3872) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
4.      Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya
Atau jika Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi memiliki pendapat lain, mohon putusan seadil-adilnya.


Amar putusan :
1.      Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk seluruhnya;
1.1.Penjelasan Pasal 70 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyeselesaian Sengketa (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 138, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3872) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
1.2.Penjelasan Pasal 70 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyeselesaian Sengketa (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 138, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3872) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
2.      Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya.





Model putusan yang secara hukum membatalkan dan menyatakan tidak berlaku nampak dalam putusan MK terhadap permohonan yang beralasan untuk dikabulkan, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 56 ayat (3) dan Pasal 57 ayat (1) UU MK. Di dalam model putusan ini, MK sekaligus menyatakan bahwa suatu undang-undang yang diuji bertentangan dengan UUD 1945 baik seluruhya maupun sebagian dan pernyatan bahwa yang telah dinyatakan bertentangan tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno yang terbuka untuk umum. Dalam hal ini, MK tidak membuat norma baru karena hanya sebagai negative legislator. Dengan dimuat dalam Berita Negara maka seluruh penyelengara negara dan warga negara terikat untuk tidak menerapkan dan melaksanakan lagi norma hukum yang telah dinyatakan inkonstiusional dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat oleh MK. Oleh karena itu, jika terdapat suatu perbuatan yang dilakukan atas dasar undang-undang yang sudah dinyatakan oleh MK baik seluruhnya maupun sebagian bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat maka perbuatan tersebut dapat dikualifisir sebagai perbuatan melawan hukum dan demi hukum batal sejak semula (ad inito).[1]

Setelah pengujian atas undang-undang itu diputus final, maka seperti ditentukan oleh Pasal 47, putusan itu langsung berlaku mengikat sejak diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum. Artinya, efek keberlakuannya bersifat ke depan (forward looking), bukan berlaku  ke belakang (backward looking). Artinya, segala perbuatan hukum yang sebelumnya dianggap sah atau tidak sah secara hukum, tidak diubah menjadi tidak sah atau menjadi sah, hanya karena Mahkamah Konstitusi berlaku mengikat sejak pengucapannya dalam sidang pleno terbuka untuk umum. perbuatan hukum yang dilakukan berdasarkan undang-undang yang belum dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum  mengikat adalah  perbuatan hukum yang sah secara hukum, termasuk akibat-akibat yang ditimbulkan oleh perbuatan hukum yang sah itu, juga sah secara hukum.[2]

Segala perbuatan hukum yang telah dilakukan berdasarkan Penjelasan Pasal 70 UUAAPS, sebelum undang-undang tersebut dinyatakan tidak lagi mengikat adalah sah menurut hukum dan konstitusi.
Jika Penjelasan Pasal 70 UUAAPS dijadikan dasar lagi setelah adanya putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan bahwa ketentuan tersebut bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat berarti hal tersebut tindakannya tidak memiliki dasar hukum.



[1] Syukri Asy'ari, Meyrinda Rahmawaty Hilpito, dan Mohammad Mahrus Ali, MODEL DAN IMPLEMENTASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM PENGUJIAN UNDANG-UNDANG (STUDI PUTUSAN TAHUN 2003-2012), Pusat Penelitan dan Pengkajian Perkara, Pengelolan Teknologi Informasi dan Komunikasi Mahkamah Konstiusi Republik Indonesia, Jakarta, hlm.8.
[2] Jimly Asshiddiqqie, HUKUM ACARA PENGUJIAN UNDANG-UNDANG, Konstitusi Press, Jakarta, 2006, hlm. 318.

Alur Perkara Pengujian Undang-undang terhadap Undang-undang Dasar menurut Hukum Acara MK Republik Indonesia

SYARAT PENGAJUAN PERMOHONAN

Pemohon pengujian undang-undang adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu
a.        perorangan warga negara Indonesia;
b.        kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang;
c.        badan hukum publik atau privat; atau
d.        lembaga negara.
(Pasal 51 ayat (1) UU No. 24 Tahun 2003 Tentang MK):
  
Permohonan diajukan secara tertulis dalam Bahasa Indonesia dan ditandatangani oleh Pemohon atau kuasanya berjumlah 12 rangkap (Pasal 29 UU No. 24 Tahun 2003 Tentang MK) yang memuat sekurang-kurangnya:
a.       Identitas
b.      Legal Standing
c.       Posita
d.      Petitum

Pengajuan permohonan harus disertai dengan alat bukti yang mendukung permohonan tersebut yaitu berupa:
a.        surat atau tulisan;
b.        keterangan saksi;
c.        keterangan ahli;
d.        keterangan para pihak;
e.        petunjuk; dan
f.          alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu. 
(Pasal 31 ayat (2) jo. Pasal 36 UU No. 24 Tahun 2003 Tentang MK)



TATA CARA PENGAJUAN PERMOHONAN

1.   Permohonan diajukan kepada Kepaniteraan Mahkamah.
2.   Proses pemeriksaan administratif secara terbuka oleh Panitera dan Pemohon.
3.   Petugas Kepaniteraan wajib memeriksa kelengkapan alat bukti yang mendukung
permohonan sekurang-kurangnya berupa:
a.        Bukti diri Pemohon.sesuai dengan kualifikasi sebagaimana dimaksud Pasal 51 ayat (1) Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, yaitu:
i.        foto kopi identitas diri berupa KTP dalam hal Pemohon adalah perorangan warga negara Indonesia,
ii.       bukti keberadaan masyarakat hukum adat menurut UU dalam hal Pemohon
adalah masyarakat hukum adat,
iii.     akta pendirian dan pengesahan badan hukum baik publik maupun privat dalam
hal Pemohon adalah badan hukum,
iv.    peraturan perundang-undangan pembentukan lembaga negara yang bersangkutan
dalam hal Pemohon adalah lembaga negara.
b.        Bukti surat atau tulisan yang berkaitan dengan alasan permohonan;
c.        Daftar talon ahli dan/atau saksi disertai pernyataan singkat tentang hal-hal yang akan diterangkan terkait dengan alasan permohonan, serta pernyataan bersedia menghadiri persidangan, dalam hal Pemohon bermaksud mengajukan ahli dan/atau saksi;
d.        Daftar bukti-bukti lain yang dapat berupa informasi yang disimpan dalam atau dikirim melalui media elektronik, bila dipandang perlu.
4. Apabila berkas permohonan dinilai telah lengkap, berkas permohonan diterima
oleh Petugas Kepaniteraan dengan disertai pemberian Akta Penerimaan Berkas
Perkara kepada Pemohon.
5.   Apabila permohonan belum lengkap, Panitera Mahkamah memberitahukan
kepada Pemohon tentang kelengkapan permohonan yang harus dipenuhi, dan
Pemohon harus sudah melengkapinya dalam waktu selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari
kerja sejak diterimanya Akta Pemberitahuan Kekuranglengkapan Berkas.
6.   Apabila kelengkapan permohonan sebagaimana dimaksud ayat (7) tidak dipenuhi,
maka Panitera menerbitkan akta yang menyatakan bahwa permohonan tersebut tidak
diregistrasi dalam BRPK dan diberitahukan kepada Pemohon disertai dengan
pengembalian berkas permohonan.
7.   Permohonan pengujian undang-undang diajukan tanpa dibebani biaya perkara.

ALUR PERSIDANGAN

1.      Penjadwalan Persidangan

a.       Paling lambat 14 hari kerja ditentukan hari sidang I
b.      Para pihak diberitahu
c.       Diumumkan ke masyarakat

2.      Pemeriksaan Pendahuluan
a.Tahap 1:
            -Memeriksa kelengkapan dan kejelasan permohonan
            -Pemberian nasihat perbaikan (14 hari)
b.Tahap 2:
                        -Memeriksa perbaikan permohonan
                        -Mengesahkan alat bukti tertulis

3.      Pemeriksaan Persidangan
a.       Mendengar keterangan Pemohon
b.      Mendengar keterangan Termohon
c.       Mendengar keterangan pihak terkait
d.      Mendengar keterangan saksi/ahli
e.       Mendengar kesimpulan para pihak

4.      Sidang Putusan


Model-model Pengujian Konstitusional (Constitutional Review) di Berbagai Negara

Sejarah institusi yang berperan melakukan kegiatan constitutional review di dunia berkembang pesat melalui tahap-tahap pengalaman yang beragam di setiap negara.[1] Di beberapa negara constitutional review dilakukan oleh lembaga peradilan khusus, seperti Mahkamah Konstitusi ataupun lembaga peradilan yang sudah ada sebelumnya, yakni Mahkamah Agung. Namun, ada juga negara yang memberikan kewenangan khusus kepada badan-badan khusus untuk berperan melakukan kegiatan constitutional review. Berikut merupakan model-model pengujian konstitusi di berbagai negara:
a.       Amerika Serikat
Model constitutional review di Amerika Serikat didasarkan atas pengalaman Mahkamah Agung Amerika Serikat memutus perkara Marbury versus Madison pada tahun 1803. Dalam hal ini Mahkamah Agung berperan sebagai The Guardian of Constitution yang memiliki kewenangan penuh dalam melakukan constitutional review. Selain itu, menurut doktrin John Marshall, dapat pula dilakukan judicial review di semua pengadilan biasa melalui prosedur yang dinamakan pengujian terdesentralisasi atau pengujian tersebar. Dalam hal ini, pengujian tersebut tidak bersifat mandiri, tetapi termasuk di dalam perkara lain yang sedang diperiksa oleh hakim dalam semua lapisan pengadilan. Putusan pengujian terdesentralisasi hanya mengikat bagi pihak-pihak yang bersengketa, kecuali dalam kerangka prinsip stare decisis yang mengharuskan pengadilan di kemudian hari terikat untuk mengikuti putusan sejenis yang telah diputus oleh hakim lain.
Model constitutional review di Amerika Serikat juga diadopsi oleh berbagai negara lain, seperti Argentina, Bahamas, Haiti, Jamaika, Mexico, Trinidad dan Tobago, dan lain-lain.
b.      Austria
Austria merupakan negara pelopor dalam pembentukan Mahkamah Konstitusi di Eropa. Constitutional review di Austria diselenggarakan untuk menetapkan prinsip-prinsip fundamental konstitusi. Artinya, berbeda dengan sistem yang terdapat di Amerika Serikat Mahkamah Konstitusi di Austria dapat menyelenggarakan suatu constitutional review tanpa perkara tertentu yang memiliki akibat hukum mengikat secara umum. Kehadiran Mahkamah Konstitusi di Austria sebagai wujud koreksi terhadap produk hukum yang dibuat oleh lembaga legislatif yang tidak selaras dengan konstitusi di negara tersebut. Mahkamah Konstitusi di Austria melalui permintaan dari pemerintah federal atau daerah dapat memutus mengenai konstitusionalitas dari suatu rancangan undang-undang. Atas dasar itu, para hakim ditempatkan sebagai legislator konstitusional.[2] Dalam hal pengujian konstitusionalitas undang-undang Mahkamah Konstitusi dapat menguji undang-undang negara bagian ataupun negara federal, di samping itu Mahkamah Konstitusi juga dapat menguji keserasian (kompabilitas) konstitusi negara bagian dan negara federal. Permintaan pengujian tersebut dapat dilakukan oleh Mahkamah Agung, Peradilan Tata Usaha Negara, Pemerintah negara bagian ataupun federal, serta sepertiga anggota Nationlarat. Apabila keberadaan suatu undang-undang tidak dapat ditolerir, maka Mahkamah Konstitusi secara ex-officio dapat melakukan pengujian terhadap undang-undang tersebut.[3]
Mahkamah Konstitusi Austria dapat membatalkan ketentuan undang-undang baik itu secara penuh atau sebagian-sebagian. Pada pembatalan tersebut, Mahkamah Konstitusi Austria memiliki kewenangan untuk menunda akibat hukum pembatalan ketentuan undang-undang paling hingga jangka waktu lebih dari 18 bulan, kecuali jika pembatalan tersebut melanggar hak sipil secara langsung dan pembatalan tersebut merupakan persoalan yang tidak dapat dihindari.
c.       Republik Federal Jerman
Dalam hal constitutional review Mahkamah Konstitusi Jerman dapat menguji norma abstrak dan kongkrit dari peraturan perundang-undangan yang didasarkan atas basic dan federal law. Pengujian norma abstrak dapat dimohonkan oleh pemerintah federal, pemerintah negara bagian, dan juga parlemen federal. Mahkamah Konstitusi Jerman juga dapat menguji suatu rancangan undang-undang yang sudah dibahas di parlemen, namun belum diundangkan. Dalam sistem Mahkamah Konstitusi Jerman permohonan pengujian atas norma abstrak hanya dapat dilakukan oleh pihak yang berkompeten dalam melaksanakan undang-undang tersebut.[4]Dalam hal pengujian terhadap norma kongkrit, Mahkamah Konstitusi Federal Jerman baru dapat dilaksanakan oleh Mahkamah Konstitusi apabila diawali dengan penyerahan perkara dari peradilan umum.
d.      Prancis
Dalam sistem pengujian konstitusional di Prancis, ide yang diterima oleh para ahli hukum Prancis yang menyatakan bahwa hakim tidak boleh menilai undang-undang yang seharusnya diterapkan oleh para hakim sendiri sebagai pegangan. Oleh karena itu di negara Prancis, kewenangan constitusional review tidak diberikan kepada lembaga peradilan tetapi kepada suatu lembaga baru, yakni conseil constitutionnel (dewan konstitusi). Pada sistem ini permohonan constitutional review bersifat preventif. Dewan konstitusi hanya dapat menguji rancangan undang-undang yang telah disahkan dan disetujui di parlemen, tetapi belum diundangkan sebagaimana mestinya. Mekanisme seperti ini lebih tepat disebut constitutional preview karena pengujian konstitusionalitas bersifat preventif sebelum rancangan undang-undang bersifat mengikat untuk umum.[5]
Sistem pengujian konstitusional di Prancis yang menamakan lembaga pengawal konstitusinya sebagai dewan konstitusi diadopsi oleh berbagai negara lain, seperti Lebanon, Aljazair, Maroko, Djibouti, dan lain-lain.


Sumber referensi utama:
-          Asshiddiqie, Jimly. Model-model Pengujian Konstitusional di Berbagai Negara. Jakarta: Konstitusi Press, 2005.
-          Jimly Asshiddiqie dan Ahmad Syahrizal. Peradilan Konstitusi di Sepuluh Negara. Jakarta: Konstitusi Press, 2006.




[1] Asshiddiqie, Jimly.Model-model Pengujian Konstitusional di Berbagai Negara. Jakarta: Konstitusi Press, 2005.
[2] Hans Kelsen dalam Governing with Judges oleh Alec Stone Sweet, hal. 135.
[3] Pasal 140 ayat (3) Konstitusi Austria
[4] Lihat artikel 76 (1) tentang Review of Law in General
[5] Lihat John Bell, French Constitutional Law

Pengujian Undang-undang terhadap Undang-undang Dasar di Indonesia

Pengujian Undang-undang Terhadap Undang-undang Dasar 1945
        
         Istilah pengujian peraturan perundang-undangan dapat dibagi berdasarkan subjek yang melakukan pengujian, objek peraturan yang diuji, dan waktu pengujian. Dilihat dari segi subjek yang melakukan pengujian, pengujian dapat dilakukan oleh hakim (toetsingsrecht van de rechter atau judicial review), pengujian oleh lembaga legislatif (legislative review), [1]maupun pengujian oleh lembaga eksekutif (executive review).
         Dalam praktiknya, Indonesia mengatur ketiga pengujian tersebut. Pengujian oleh hakim (toetsingsrecht van de rechter atau judicial review) diatur baik sebelum maupun sesudah perubahan UUD 1945. Pengaturan mengenai pengujian peraturan perundang-undangan pada masa berlakunya UUD 1945, pertama kali diatur dalam UU Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan- Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, yang mengatur pengujian terhadap peraturan perundang-undangan di bawah UU terhadap UU merupakan kewenangan Mahkamah Agung. Setelah perubahan UUD 1945, kewenangan pengujian peraturan perundang-undangan di bawah UU terhadap UU tetap merupakan kewenangan Mahkamah Agung, sedangkan pengujian UU terhadap UUD merupakan kewenangan Mahkamah Konstitusi.
         Pengujian UU oleh lembaga legislatif (legislative review) dilakukan dalam kapasitas sebagai lembaga yang membentuk dan membahas serta menyetujui UU (bersama-sama Presiden). Sebelum perubahan UUD 1945, pengujian UU terhadap UUD berada pada MPR berdasarkan Ketetapan MPR RI Nomor III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan. Alasan mengapa Mahkamah Agung mempunyai wewenang menguji hanya terhadap peraturan perundang-undangan di bawah UU terhadap UU pada masa sebelum perubahan UUD 1945, menurut Padmo Wahjono didasarkan pada pemikiran bahwa UU sebagai konstruksi yuridis yang maksimal untuk mencerminkan kekuasaan tertinggi pada rakyat, sebaiknya diuji oleh MPR[2]. Praktik ketatanegaraan yang pernah ada adalah Ketetapan MPRS RI Nomor XIX/MPRS/1966 tentang Peninjauan Kembali Produk-produk Legislatif Negara di luar Produk Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara yang Tidak Sesuai dengan UUD 1945.[3]
         Sebagaimana pengujian oleh lembaga legislatif (legislative review) yang dilakukan dalam kapasitas sebagai lembaga yang membentuk dan membahas serta menyetujui UU (bersama dengan Presiden), pengujian oleh lembaga eksekutif (executive review) dilakukan terhadap peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh lembaga eksekutif. Salah satu contoh pengujian oleh lembaga eksekutif (executive review) adalah dalam pengujian Peraturan Daerah (Perda).
         Analisis mendalam diperlukan jika mengkaji pengujian peraturan dari segi objeknya, karena harus memperhatikan sistem hukum yang digunakan, sistem pemerintahan, dan sejarah ketatanegaraan dari sebuah negara sehingga sangat mungkin terdapat kekhasan pada negara tertentu. Dilihat dari objek yang diuji, maka peraturan perundang-undangan yang diuji terbagi atas:
(1) seluruh peraturan perundang-undangan (legislative acts dan executive acts) dan tindakan administratif (administrative action) terhadap UUD diuji oleh hakim pada seluruh jenjang peradilan.
(2) UU terhadap UUD diuji oleh hakim – hakim pada Mahkamah Konstitusi (Constitutional Court), sedangkan peraturan perundang-undangan di bawah UU terhadap UU diuji oleh hakim-hakim di Mahkamah Agung (Supreme Court).
         Suatu istilah sangat tergantung dari sistem hukum yang dianut oleh negara yang bersangkutan, sistem pemerintahan, dan sejarah ketatanegaraan sebuah negara. Istilah judicial review selain digunakan pada negara yang menggunakan sistem hukum common law juga digunakan dalam membahas tentang pengujian pada negara yang menganut civil law system, seperti yang dikemukakan oleh Jimly Asshiddiqie, yaitu: ‘Judicial Review’ merupakan upaya pengujian oleh lembaga judicial terhadap produk hukum yang ditetapkan oleh cabang kekuasaan legislatif, eksekutif, ataupun yudikatif dalam rangka penerapan prinsip ‘checks and balances’ berdasarkan sistem pemisahan kekuasaan negara (separation of power).[4]
Menurut Prof. Jimly Asshiddiqie pengujian terhadap undang-undang ada dua macam yakni :
1. Pengujian Materiil
Yaitu pengujian atas bagian undang-undang yang bersangkutan. Bagian tersebut dapat berupa bab, ayat, pasal, atau kata bahkan kalimat dalam suatu pasal atau ayat dalam sebuah undang-undang.
2. Pengujian Formil
Yaitu pengujian yang dilakukan terhadap form atau format dan aspek-aspek formalisasi substansi norma yang diatur itu menjadi suatu bentuk hukum tertentu menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sehingga substansi norma hukum yang dimaksud menjadi mengikat untuk umum.
Sri Sumantri berpendapat bahwa : Hak menguji materiil adalah suatu wewenang untuk menyelidiki dan kemudian menilai, apakah suatu peraturan perundang-undangan isinya sesuai atau bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi derajatnya, serta apakah suatu kekuasaan tertentu (verordenende acht) berhak mengeluarkan suatu peraturan tertentu. Jadi hak menguji materiil ini berkenaan dengan isi dari suatu peraturan dalam hubungannya dengan peraturan yang lebih tinggi derajatnya.
Pada dasarnya Pengujian formil biasanya terkait dengan soal-soal prosedural dan berkenaan dengan legalitas kompetensi institusi yang membuatnya. Hakim dapat membatalkan suatu peraturan yang ditetapkan dengan tidak mengikuti aturan resmi tentang pembentukan peraturan yang bersangkutan. Hakim juga dapat menyatakan batal suatu peraturan yang tidak ditetapkan oleh lembaga yang memang memiliki kewenangan resmi untuk membentuknya.
Sedangkan pengujian materil berkaitan dengan kemungkinan pertentangan materi suatu peraturan dengan peraturan lain yang lebih tinggi ataupun menyangkut kekhususan-kekhususan yang dimiliki suatu aturan dibandingkan dengan norma-norma yang berlaku umum. Misalnya, berdasarkan prinsip ‘lex specialis derogate lex generalis’, maka suatu peraturan yang bersifat khusus dapat dinyatakan tetap berlaku oleh hakim, meskipun isinya bertentangan dengan materi peraturan yang bersifat umum.

Sumber referensi utama:
-          Siahaan, Maruruar. Hukum Acara Mahkamah Konstitusi. Jakarta:  Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2010.




[1] Istilah legislative review dipersamakan dengan dengan political review dalam H.A.S. Natabaya, Sistem Peraturan Perundang-undangan Indonesia, (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2006), hal. 187.
[2] Padmo Wahjono, Indonesia Negara Berdasarkan atas Hukum, Cet. 2, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1986), hal. 15.
[3] Ibid
[4] Jimly Asshiddiqie, “Menelaah Putusan Mahkamah Agung tentang ‘Judicial Review” atas PP No. 19/2000 yang bertentangan dengan UU Nomor 31 Tahun 1999,” (tanpa tempat, tanpa tahun), loc cit., hal. 1.