Pengujian Undang-undang terhadap Undang-undang Dasar di Indonesia

Pengujian Undang-undang Terhadap Undang-undang Dasar 1945
        
         Istilah pengujian peraturan perundang-undangan dapat dibagi berdasarkan subjek yang melakukan pengujian, objek peraturan yang diuji, dan waktu pengujian. Dilihat dari segi subjek yang melakukan pengujian, pengujian dapat dilakukan oleh hakim (toetsingsrecht van de rechter atau judicial review), pengujian oleh lembaga legislatif (legislative review), [1]maupun pengujian oleh lembaga eksekutif (executive review).
         Dalam praktiknya, Indonesia mengatur ketiga pengujian tersebut. Pengujian oleh hakim (toetsingsrecht van de rechter atau judicial review) diatur baik sebelum maupun sesudah perubahan UUD 1945. Pengaturan mengenai pengujian peraturan perundang-undangan pada masa berlakunya UUD 1945, pertama kali diatur dalam UU Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan- Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, yang mengatur pengujian terhadap peraturan perundang-undangan di bawah UU terhadap UU merupakan kewenangan Mahkamah Agung. Setelah perubahan UUD 1945, kewenangan pengujian peraturan perundang-undangan di bawah UU terhadap UU tetap merupakan kewenangan Mahkamah Agung, sedangkan pengujian UU terhadap UUD merupakan kewenangan Mahkamah Konstitusi.
         Pengujian UU oleh lembaga legislatif (legislative review) dilakukan dalam kapasitas sebagai lembaga yang membentuk dan membahas serta menyetujui UU (bersama-sama Presiden). Sebelum perubahan UUD 1945, pengujian UU terhadap UUD berada pada MPR berdasarkan Ketetapan MPR RI Nomor III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan. Alasan mengapa Mahkamah Agung mempunyai wewenang menguji hanya terhadap peraturan perundang-undangan di bawah UU terhadap UU pada masa sebelum perubahan UUD 1945, menurut Padmo Wahjono didasarkan pada pemikiran bahwa UU sebagai konstruksi yuridis yang maksimal untuk mencerminkan kekuasaan tertinggi pada rakyat, sebaiknya diuji oleh MPR[2]. Praktik ketatanegaraan yang pernah ada adalah Ketetapan MPRS RI Nomor XIX/MPRS/1966 tentang Peninjauan Kembali Produk-produk Legislatif Negara di luar Produk Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara yang Tidak Sesuai dengan UUD 1945.[3]
         Sebagaimana pengujian oleh lembaga legislatif (legislative review) yang dilakukan dalam kapasitas sebagai lembaga yang membentuk dan membahas serta menyetujui UU (bersama dengan Presiden), pengujian oleh lembaga eksekutif (executive review) dilakukan terhadap peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh lembaga eksekutif. Salah satu contoh pengujian oleh lembaga eksekutif (executive review) adalah dalam pengujian Peraturan Daerah (Perda).
         Analisis mendalam diperlukan jika mengkaji pengujian peraturan dari segi objeknya, karena harus memperhatikan sistem hukum yang digunakan, sistem pemerintahan, dan sejarah ketatanegaraan dari sebuah negara sehingga sangat mungkin terdapat kekhasan pada negara tertentu. Dilihat dari objek yang diuji, maka peraturan perundang-undangan yang diuji terbagi atas:
(1) seluruh peraturan perundang-undangan (legislative acts dan executive acts) dan tindakan administratif (administrative action) terhadap UUD diuji oleh hakim pada seluruh jenjang peradilan.
(2) UU terhadap UUD diuji oleh hakim – hakim pada Mahkamah Konstitusi (Constitutional Court), sedangkan peraturan perundang-undangan di bawah UU terhadap UU diuji oleh hakim-hakim di Mahkamah Agung (Supreme Court).
         Suatu istilah sangat tergantung dari sistem hukum yang dianut oleh negara yang bersangkutan, sistem pemerintahan, dan sejarah ketatanegaraan sebuah negara. Istilah judicial review selain digunakan pada negara yang menggunakan sistem hukum common law juga digunakan dalam membahas tentang pengujian pada negara yang menganut civil law system, seperti yang dikemukakan oleh Jimly Asshiddiqie, yaitu: ‘Judicial Review’ merupakan upaya pengujian oleh lembaga judicial terhadap produk hukum yang ditetapkan oleh cabang kekuasaan legislatif, eksekutif, ataupun yudikatif dalam rangka penerapan prinsip ‘checks and balances’ berdasarkan sistem pemisahan kekuasaan negara (separation of power).[4]
Menurut Prof. Jimly Asshiddiqie pengujian terhadap undang-undang ada dua macam yakni :
1. Pengujian Materiil
Yaitu pengujian atas bagian undang-undang yang bersangkutan. Bagian tersebut dapat berupa bab, ayat, pasal, atau kata bahkan kalimat dalam suatu pasal atau ayat dalam sebuah undang-undang.
2. Pengujian Formil
Yaitu pengujian yang dilakukan terhadap form atau format dan aspek-aspek formalisasi substansi norma yang diatur itu menjadi suatu bentuk hukum tertentu menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sehingga substansi norma hukum yang dimaksud menjadi mengikat untuk umum.
Sri Sumantri berpendapat bahwa : Hak menguji materiil adalah suatu wewenang untuk menyelidiki dan kemudian menilai, apakah suatu peraturan perundang-undangan isinya sesuai atau bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi derajatnya, serta apakah suatu kekuasaan tertentu (verordenende acht) berhak mengeluarkan suatu peraturan tertentu. Jadi hak menguji materiil ini berkenaan dengan isi dari suatu peraturan dalam hubungannya dengan peraturan yang lebih tinggi derajatnya.
Pada dasarnya Pengujian formil biasanya terkait dengan soal-soal prosedural dan berkenaan dengan legalitas kompetensi institusi yang membuatnya. Hakim dapat membatalkan suatu peraturan yang ditetapkan dengan tidak mengikuti aturan resmi tentang pembentukan peraturan yang bersangkutan. Hakim juga dapat menyatakan batal suatu peraturan yang tidak ditetapkan oleh lembaga yang memang memiliki kewenangan resmi untuk membentuknya.
Sedangkan pengujian materil berkaitan dengan kemungkinan pertentangan materi suatu peraturan dengan peraturan lain yang lebih tinggi ataupun menyangkut kekhususan-kekhususan yang dimiliki suatu aturan dibandingkan dengan norma-norma yang berlaku umum. Misalnya, berdasarkan prinsip ‘lex specialis derogate lex generalis’, maka suatu peraturan yang bersifat khusus dapat dinyatakan tetap berlaku oleh hakim, meskipun isinya bertentangan dengan materi peraturan yang bersifat umum.

Sumber referensi utama:
-          Siahaan, Maruruar. Hukum Acara Mahkamah Konstitusi. Jakarta:  Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2010.




[1] Istilah legislative review dipersamakan dengan dengan political review dalam H.A.S. Natabaya, Sistem Peraturan Perundang-undangan Indonesia, (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2006), hal. 187.
[2] Padmo Wahjono, Indonesia Negara Berdasarkan atas Hukum, Cet. 2, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1986), hal. 15.
[3] Ibid
[4] Jimly Asshiddiqie, “Menelaah Putusan Mahkamah Agung tentang ‘Judicial Review” atas PP No. 19/2000 yang bertentangan dengan UU Nomor 31 Tahun 1999,” (tanpa tempat, tanpa tahun), loc cit., hal. 1.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar